Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

DIABETES MELITUS


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Diabetes miletus merupakan suatu suatu kelmpok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikimia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ  tubuh, terutama mata,ginjal, saraf, jatung, dan pembuluh darah. World health Orgaiozation (WHO) sebelumya telah merumuskan bahwa diabetes miletus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai sesuatu kumpulan problem anatomik dan kimia akibat dari sejumlah faktor dimana dapat didefisinesi insulin absolut atau realtif dan gangguan fungsi insulin absolut atau relatif.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus menerus terjadi baik oleh WHO maupun american diabetes association (ADA). Para pakar indonesia bersepakat melalui PERKENI (Perkumpula Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar peggologan diabetes miletus, yang kemudian juga melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru.
Secara epidemiologi diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikataka onset atau mulai terjadinya atau mulai terjadinya diabetes miletus adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegagkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi,populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan prilaku rural tradisional manjadi urban. Fakltor resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lama obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya akatifitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Selain itu diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan malahan menurut P.Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, banyak penelitian dilakukan untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang diabetes, ada yang berusaha mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang mempelajari dampak diabetes peada beberapa populasi didunia.
B. Tujuan
a.    Dapat mengetahui pengertian diabetes miletus
b.    Dapat mengetahui etiologi diabetes miletus
c.    Dapat mengetahui gejala klinik diabetes miletus
d.   Dapat mengetahui pemeriksaan fisik diabetes miletus
e.    Dapat mengetahui patofisiologi diabetes miletus
f.     Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang diabetes miletus
g.    Dapat mengetahui penatalaksanaan diabetes miletus
h.    Dapat mengetahui komplikasi diabetes miletus
i.      Dapat mengetahui prognosis diabetes miletus
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Defenisi
Aretaeus pada tahun 200 sebelum masehi, adalah orang yang pertama kali memberi nama: Diabetes, yang berarti “menaglir terus”, dan Mellitus berarti “manis”. Disebut diabetes, karena selalu minum , dalam jumlah banyak (polidipsia), yang kemudian “mengalir” terus berupa air seni (urine); disebut mellitus karena air seni penderita ini mengandung gula (manis). Pada dasarnya, Diabetes Mellitus (DM) atau penyakit kencing manis disebabkan hormon insulin penderita tidak mencukupi, atau tidak dapat bekerja normal, sedangkan hormon insulin tersebut mempunyai peranan utama, untuk mengatur kadar glukosa (gula) di dalam darah sekitar 60-120 mg/dl waktu puasa dan di bawah 200 mg/dl pada dua jam sesudah makan.(1:11-12)
 Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.(2:1260-1261)
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikkan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikomsumdi hati dari makanan yang dikomsumsi. Insulin yaitu suatu hormon yang suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.
Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan hiperglikikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes  ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.(3:1220)
B.       Klasifikasi
Ada beberapa tipe diabetes melitus yang berbeda ; penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebab, pejalanan klinik dan terpinya. Klasifikasi yang utama adalah :
a)    Tipe I : diabetes melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes melitus[IDDM])
b)   Tipe II  : diabtes melitus yang tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes melitus [NIDDM])
c)    Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
d)   Diabetes melitus gestasional (gestational diabetes melitus[GDM]) 
Kurang lebih 5% hingga 10% penderita mengalami diabetes tipe I, yaitu diabetes yang tergantung insulin. Pada diabetes jenis ini, sel-sel beta pankreas dalam keadaan normal menghasilkan insulin dihancurkan oleh suatu proses otoimun. Sebagai akibatnya, penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes tipe I ditandai oleh awitan yang mendadak biasanya terjadi pada usia 30 tahun.
Kurang-lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe II, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II terjadi akibat sensivitas terhadap insulin (yang disebut resistensi insulin). Diabetes tipe II pada mulanya diatasi dengan diet  dan latihan. Jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemia oral. Pada sebagian penyandang diabetes tipe II, obat oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan penyuntikan insulin. Disamping itu, sebagian penyandang diabetes tipe II yang dapat mengendalikan penyakit diabetesnya dengan diet, latihan dan obat hipoglikemia oral  mungkin memerlukan penyuntikan insulin dalam periode stres fisiologik akut  (seperti sakit atau pembedahan). Dibetes tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia diatas 30 tahun dan obesitas.(3:1220)



Kalsifikasi Diabetes Melitus dan Intoleransi Glukosa yang Berhubungan (3:1221)
Klasifikasi Sekarng
Klasifikasi Sebelumnya
Ciri-ciri Klinik
Tipe I : Diabetes Melitus tergantung insulin (IDDM) (5%-10% dari seluruh penderita diabetes)











Tipe II: Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (NIDDM) (90%-95% dari seluruh penyandang diabetes obese—80 % dari tipe II; Non obese—20% dari tipe II)









Diabetes yang berkaitan dengan keadaan atau sindrom lain






Dibetes gestasional
Diabetes juvenilis
Juvenile-Onset Diabetes
Diabetes cenderung-ketosis
Brittle Diabetes













Dibetes Awitan dewasa
Maturity-Onset Diabetes
Diabetes resisten-ketosis
Diabetes labil (stable diabetes)














Diabetes sekunder









Diabetes gestasional


Awitan terjadi segala usia, tetapi biasnya usia muda (<30 tahun).
Biasanya bertubuh kurus pada didiagnosis, dengan penurunan berat yang baru saja terjadi
Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan (misalnya, virus)
Sering memiliki antibody sel pulau langer hans
Sering memiliki antibody terhadap insulin sekalipun belum pernah mendapatkan terapi insulin.
Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen
Memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup
Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin
Komplikasi akut hiperglikemia: ketoasidosis glikemik

Awitan terjadi di segala usia, biasanya diatas 30 tahun biasanya bertumbuh gemuk (obese) pada saat didiagnosis
Etiologi mencakup faktor obesitas, herediter atau lingkungan
Tidak ada antibody pulau langer hans
Penurunan produksi endogen atau peningkatan resistensi insulin
Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa darahnya melaui penurunan berat badan
Agents hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah bila modifikasi diet dalam latiha tidak berhasil
Mungkin memerlukan insulin dalam waktu yang pendek atau panjang untuk mencegah hiperglikemia
Ketosis jarang terjadi, kecuali dalam keadaan stress atau menderita infeksi
Komplikasi akut: sindrom hiperosmoler nonketotik

Disertai dengan keadaan yang diketahui atau dicurigai  dapat menyebabkan penyakit : pankreatitis, kelainan hormonal, obat-obat seperti gliukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen penyandang diabetes
Bergantung pada kemapuan pankreas untuk menghasilkan insulin, pasien mungkin memerlukan terapi dengan obat oral atau insulin

Awitan selama kehamilan, biasanya pada trasnmiter kedua atau ketiga
Disebabkan oleh hormon yang disekresikan plasenta dan menghambat kerja insulin
Resiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal khususnya makrosonia (bayi yang secara normal berukuran besar)
Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk mempertahankan secara tetap kadar glukosa drah normal
Terjadi pada sekitar 2%-5% dari seluruh kehamilan
Faktor resiko mencakup : obesitas, usia diatas 30 tahun, riwayat diabetes dalakan keluarga,  pernah melahirkan bayi yang besar (lebih dari 4 ½ kg)             
     
C.      Etiologi
1.      Diabetes tipe I
Diabetes tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetic, imunologi, dan mungkin pula lingkungan (misalnya infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
a)      Faktor-faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. kecenderungan genetic ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLAm(Human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. 95 % pasien berkulit putih dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Resiko terjadinya diabetes I meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).
b)      Faktor-faktor imunolagi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon otoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe  I. riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imunosupresif terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan antibody yang terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin dengan dosis kecil terhadap fungsi sel beta.
c)      Faktor-faktor lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu prises otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
Interaksi antar faktor-faktor genetic, imunologi dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe  I merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetic merupakan faktor dasar yang melandasi proses tipe I merupakan hal yang secara umum dapat diterima.(3:1224-1225)
2.      Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetic diprkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor ini :
a)      Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b)      Obesitas
c)      Riwayat keluarga
d)     Kelompok etnik (di Amerika serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika).(3:1225)
D.      Gejala Klinik
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defesiensi insulin. Pasien-pasien dengan defesiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau tolernsi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal  untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidpsia). Karena glikosa hilang besama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang sering terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meniggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk  mengontrol metabolisme dan turunnya penderita terhadap insulin. Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah dilaboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin penderita polidipsia, poliuria, lemah, dan somnole. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defesiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap diekskresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensifitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.(2:1263-1264)
E.       Pemeriksaan Fisik
a)   Inspeksi
Adalah pemeriksaan dengan cara melihat, Sebagai contoh pemeriksaan pada mata, inspeksi dan peilaian fungsi mata sangat penting pada tiap pemeriksaan mata untuk penderita diabetes mellitus.
Inspeksi iris, skelra dan kornea, periksa sclera untuk melihat peradangan dan perubahan warna. Kornea dapat diperiksa secara lengsung atau dengan bantuan oftalmoskop, ia tidak mengandung pembuluh darah sama sekali dan mempunyai benyak persarafan. Iris normal harus bulat dan simetris.
b)   Palpasi
Adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara meraba. Adapun daerah yang dipalpasi adalah bagian ekstremitas tungkai bawah apakah terdapat benjolan atau tidak. Jika terdapat benjolan maka akan berpotensi terhadap terjadinya gangren ( dekubitus ).
c)   Perkusi
Adapun bagian yang diperkusi adalah bagian abdomen. Untuk mengetahui apakah bagian tersebut dirasakan nyeri atau tidak oleh pasien.
d)  Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mendengar untuk memeriksa jantung karena komplikasi pada pasien diabetes mellitus. Untuk mengetahui tekanan darah pada pasien DM.  (4)
F.       Patofisiologi
1.      Diabetes tipe I

Dbetes Type 1

Factor Genetik                             Faktor Imunologis                  Faktor Lingkungan

Type Antigen HLA                               Otoimun                    Virus,Bakteri, Toksik

   Pada diabetes tipe  II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intarsel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
               Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan an kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta ttidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
               Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karna itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).
               Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selam bertahun tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsiaa, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Untuk  sebagian besar pasien (kurang lebih 75 %). Penyakit diabetes tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin) salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun tahun adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misanya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.
Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan efektifitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Jika penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagian pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stress fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan.(3:1223)
3.      Diabetes dan kehamilan.
Diabetes yang terjadi selama kehamilan perlu mendapat perhatian khusus. Wanita yang sudah diketahui menderita diabetes sebelum terjadinya pembuahan harus mendapat penyuluhan atau konseling tentang penatalaksanaan diabetes selama kehamilan. Pengendalian diabetes yang buruk(hiperglikemia) pada saat pembuahan dapat disertai timbulnya malformasi kongenital. Karena alasan inilah wanita yang menderita diabetes harus mengendalikan penyakitnya dengan baik sebelum konsepsi terjadi dan sepanjang kehamilannya. Dianjurkan agar wanita yang menderita diabetes sudah memulai program terapi yang intensif (pemeriksaan kadar gllukosa darah empat kali per hari dan pemberian suntikan insulin tiga hingga empat kali per hari ) dengan maksud untuk mencapai kadar hemoglobin A1C yang normal tiga bulan sebelum pembuahan. Pemantauan yang ketat dan pemeriksaan oleh dokter spesialis untuk kehamilan berisiko tinggi sangat dianjurkan.
Diabetes yang tidak terkontrol pada saat melahirkan akan disertai dengan insiden makrosomia janin (bayi yang sangat besar), persalinan dan kelahiran yang sulit, bedah sesar serta kelahiran mati (stillbirth). Di samping itu, bayi yang dilahirkan oleh ibu juga yang menderita hiperglikemia dapat mengalami hipoglikemia pada saat lahir. Keadaan ini dapat terjadi karna pankreas bayi yang normal telah mensekresikan insulin untuk mengimbangi keadaan hiperglikemia ibu. Bayi ini membutuhkan pemantauan yang ketat dalam kamar bayi, dan kadar glukosa darahnya harus sering diukur. Jika terjadi hipoglikemia, pemberian air gula harus segera dilakukan.(3:1224)
4.      Diabetes gestasional
Diabetes Gestational

kehamilan
 


meningkatnya beberapa eksresi hormon
 


meningkatnya suplai asam amino dan glukosa
 


hyperglikemia
           



bayi lahir sangat besar        persalinan        bedah cesar        kelahiran mati    bayi hipoglikemia
                              dan kelahiran yang sakit

 terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selam kehamilan akibat sekresi hormone-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani skrining pada usia kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi kemumgkinan diabetes. Penatalaksanaan pendahuluan mencakup modifikasi diet dan pemantauan kadar glukosa. Jika hipetglikemia tetap terjadi, preparat insulin harus diresepkan. Obat hipoglikemia oral tidak boleh digunakan selama kehamilan. Tujuan yang akan dicapai adalah kadar glukosa selama kehamilan yang berkisar dari 70 hingga 100 mg/dl sebelum makan (kadar gula nucher) dan kurang dari 165 mg/dl pada dua jam sesudah makan(kadar gula 2 jam postprandial).
Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal. Walaupun begitu, banyak wanita yang mengalami diabetes gestasional dikemudian hari menderita diabetes tipe II. Oleh karna itu, semua wanita yang menderita diabetes gestasional harus mendapatkan konseling guna mempertahankan berat badan idealnya dan melakukan latihan secaravteratur sebagai upaya untuk menghindari awitan diabetes tipe II.(3:1224)
G.      Pemeriksaan Penunjang
Tujuan pemeriksaan laboratorium pada DM adalah : menetapkan diagnosa, mengikuti perjalanan penyakit, kontrol terapi dan deteksi dini adanya kelainan akibat DM.
a)      Pemeriksaan kadar gula darah.
Cara yang dianjurkan adalah cara enzimatik, dan yang banyak digunakan dalam laboratorium adalah cara glukosa oksidase. Cara lain adalah cara                o-toluidine. Kedua cara ini dianggap memberi hasil yang mendekati kadar glukosa sesungguhnya.
Cara-cara seperti Somogyi-Nelson, ferricyanida dan neoc roine dapat pula memberi hasil yang setara dengan cara-cara enzimatik jika diterapkan pada autoanalyser atau alat sejenis. Nilai-nilai yang diperoleh dengan menggunakan darah lengkap ± 15% lebih rendah daripada plasma kecuali pada anemia. Harus pula diperhatikan asal pengambilan bahan. Darah kepiler memberi nilai yang 7% lebih tinggi dari darah vena  pada keadaan puasa, sedangkan 2 jam pp perbedaan ini mencapai ± 8%. Pemeriksaan menggunakan tes strip (glucose oxidase) boleh digunakan untuk bed side test, tetapi  pemakai strip harus hati-hati akan kemungkinan hasil yang kurang tepat karena penyimpanan strip yang kurang baik.
b)     Tes toleransi glukosa (TTG)
Untuk percobaan ini umumnya tidak diperlukan persiapan khusus, kecuali jika penderita sedang menjalani diet rendah karbohidrat yang sangat ketat. Pada mereka yang menjalani diet 125 g karbohidrat atau kurang, dianjurkan agar 3 hari
sebelum percobaan dilakukan, menggunakan paling kurang 150g karbohidrat. Percobaan dimulai setelah puasa selama 10-14 jam dengan pengambilan darah puasa, setelah itu penderita diberi 75 g glukosa dalam 250-350 ml air untuk diminum dalam 5-15 menit. Jumlah glukosa yang diberikan pada beberapa laboratorium 50 g, ada pula yang memberi 100 g. Perbedaan ini memberi selisih hasil kira-kira 0.15 g/l pada nilai gula darah pp. 2 jam. dibandingkan dengan pemberian gula 75 g. Dua jam setelah pemberian glukosa, dilakukan pengambilan
sample pp. Ada pula lab oratorium yang menguji kadar gula 1jam pp disamping 2 jam pp. Harus diperhatikan bahwa selama percobaan dilangsungkan penderita tidak boleh merokok dan bahwa obat-obat serta faktor-faktor lain dapat mempengaruhi hasil TTG.
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, terkanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi > 4.000g, riwayat DM pada kehamilan, dan dislipidemia.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah, kemungkinan dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penunjangnya negative, perlu pemeriksaan penunjang ulangan tiap tahun. Bagi pasien berusia >45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tiap 3 tahun.(5)
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994) :
1.      3 (Tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
2.      Berpuasa paling sedikit 8 Jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, muinum air putih tanpa gula diperbolehkan.
3.      Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa.
4.      Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5.      Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6.      Diperiksa gula darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7.      Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.(6:1881)
c)      Pemeriksaan gula urin.
Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus, urin diperiksa tiap kali sebelum makan dan sebelum tidur untuk membantu kontrol penggunaan insulin. Penderita dengan kadar gula yang stabil cukup melakukannya 2 hari dalam satu minggu, sedangkan pada hari hari lainnya diperiksa urin puasa. Pemeriksaan urin pagi dan malam sudah cukup untuk penderita non-insulin dependent diabetes mellitus, bahkan jika terkontrol cukup diperiksa sekali sehari. Penggunaan tes strip sangat membantu penderita untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan  tersebut di rumah.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl)
                                                           Bukan DM           Belum pasti DM          DM
Kadar glukosa darah sewaktu
-     Plasma vena                                       < 110                      110 – 199             > 200
-     Darah kapiler                                     < 90                          90 – 199             > 200
Kadar glukosa darah puasa
-     Plasma vena                                       < 110                      110 – 125             > 126
-     Darah kapiler                                     < 90                          90 – 109             > 110




H.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada :
1.      Rencana diet
2.      Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik
3.      Agen-agen hipoglikemik oral
4.      terapi insulin
5.      pengawasan glukosa di rumah
6.      pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.
Diabetes adalah penyekit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defesiensi insulin selalu membutuhkan terapi insulin. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin relatif dapat ditangani tanpa insulin.
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlh kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan  apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan berat tubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas dapat ditentukan dengan diet dengan kalori yang dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut. Sebaliknya, pada pasien muda dengan diabetes tipe 1, berat badannya dapat menurun selama keadaan dikompensasi. Pasien ini harus menerima kalori yang cukup untuk mengembalikan berat badan mereka ke keadaan semula dan untuk pertumbuhan. Rencana diet harus didapat dengan berkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktifitas fisik.
Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat terhindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selam latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien melakukan latiha fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka.    
Pasien-pasien dengan gejala diabetes tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif yang tersedia adalah medformin dan tiazolidinedion. Medformin yang merupakan suatu biguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal perytama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Medformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absobsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Medformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pasien dengan obesitas. Asisosis later jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khusnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insuli perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi denga proliferator peroksisom reseptor inti yang mngaktifkan reseptor gamma(PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu resiglitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg/hari dan poiglitazon dengan dosis 30 hingga 45 ng/hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombonasikan dengan medformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif.  
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau langerhansyang masih berfungsi merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obatan ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemi oral dapat diliahat pada tabel dibawah ini
Agen-agen hipoglikemik oral
agen
Waktu paruh(jam)
Frekuensi pemberian
Dosis awal (Mg)
Dosis rumatan (Mg)
Toksisitas
Ukuran tablet (Mg)
Glipizid (glucontrol)
2-4
Dua kali sehari
2,5
5-40
Gastrointestinal
Kulit
hematologik
5,10
Gliburid (mikronase, diabeta)
10
Sekali atau dua kali
5,0
2,5-20,0
Kulit
Gastrointestinal
hematologi
1,25-5,00
Metfomin (glucophage)
1,3-4,5
Tiga kali sehari
1000
1500-1300
Asidosis laktat

500,850
Rosiglitazone

Sekali sehari
4,0
4-8
Edema
4,0
pioglitazone

Sekali sehari
30
30-45
Edema
30
      Namun sulfonilirea generasi kedu menyebebkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah 2,5 hingga 40 Mg/hari dan gliburit, 2,5-25 Mg/hari. Gliburit memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glibsid dan dosis total hariannya dapat diberikan sehari sekali. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang sering digunakan dengan diabetes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa prospandial pada pasien ini, absorsi karbohidrat dapat diperlambat atau diturunkan dengan menkonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.      (2:1264-1265)




I.         Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua ketegori mayor: (1) komplikasi metabolik akut, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskuklar jangka panjang.
Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik akut diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan penigkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Penigkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asodosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang  jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapa menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meniggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
DKA ditangani (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat diberikan melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering dan infus glukosa dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis, dan pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam basa. Selain itu, pasien juga memerlukan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya dekompensasi diabeik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika.  
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonkrtotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena difisiensi insulin, absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular.
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak dari pada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejal hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringan, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).
Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil mikroangiopati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-sarar perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.
Ada kaitan yang kaut antara hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar leser difokuskan pada retina, menghasilkan parut korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada katub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya.
Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuajn darah. Pada akhirnya, mikroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika menegnai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta , maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
Diabetes juga mengganggu kehamilan. Perempuan yang menderita diabetes dan hamil, cenderungmengalami abortus spontan, kematian janin intrateurin, ukuran janin besar, dan bayi yang prematur dengan insidens sindrom distres pernapasan yang tinggi, dan malformasi janin. Tetapi sekarang ini kehamilan ibu-ibu dengan diabetes telah mengalami perbaikan lebih dini  dan kemajuan-kemajuan di bidang neonatologi dan penatalaksanaan komplikasi pada neonatus. Perubahan lingkungan hormonal selam hamil menyebabkan peningkatan kebutuhan insulin yang progresif, yang mencapai puncaknya pada semester ketiga, dan penurunan tajam kebuthan  insulin setelah setelah melahirkan.(2:1267-1270)
J.        Prognosis
a)Baik : pasien yang mengidap penyakit Diabetes Mellitus bisa mendapatkan kesempatan hidup yang lebih lama jikalau dia tetap mempertahankan kadar glukosa pada level yang yang normal sedapat mungkin. Dengan control glikemia yang teratur maka komplikasi mikrovaskular dan neurophaty akan berkurang. Dan juga, jikalau hipertensi dan hyperlipidemia tetap dijaga dalam keadaan normal maka akan mengurangi komplikasi penyakit makrovaskular.11 
b)   Kurang baik: pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik.
c)Buruk    : Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolas adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.(7)















BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes miletus merupakan suatu suatu kelmpok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikimia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
B.       Saran

Dalam penysunan makalah sebaiknya mahasiswa menggunakan minimal lima literatur untuk menghasilkan makalah yang isinya lengkap dan sebaiknya perlu ditambahkan lagi buku-buku kesehatan lainnya yang belum tersedia di perpustakaan untuk menunjang penyelesaian tugas mahasiswa.


















DAFTAR PUSTAKA
1.      Utami, Fadillah. 2010. Hidup Sehat Bebas Diabetes dan Asam Urat. Yogyakarta:    Genius Publisher.
2.      Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
3.      Brunner dan Suddarth.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8.Vol.2. Jakarta: EGC
6.      Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Prenyakit Dalam. Jakarta: Publishing

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar