Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hubungan Merokok dengan Asma Bronkial



Hubungan Merokok dengan Asma Bronkial
Sebelumnya saya pernah memposting Penyakit Asma Bronkial
dan Bahaya Merokok di blog ini teryata 
ada kaitannya antara merokok dan asma.
Tulisan sengaja saya posting.. berbagi pengetahuan kepada para pembaca 
terutama pasien yang asma bahwa merokok selain bertentangan 
dengan ajaran agama juga sangat merugikan 
bagi kesehatan baik itu diri sendiri, 
lingkungan terlebih orang-orang disekeliling 
kita. tulisan ini adalah hasil skripsi penulis
saya mohon doa kepada para pembaca semoga 
saya diberi kemudahan dalam seminar hasil ataupun
 ujian meja nantinya.. aminn ya Rob


Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas amoniak. Bangun (2008) menjelaskan bahwa tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Tar mengandung bahan-bahan karsinogen, zat-zat tar ini dipindahkan ke dalam cabang-cabang tenggorok dan paru-paru dengan perantaraan asap, dan sesudah itu tersimpan pada selaput lendir pembuluh-pembuluh ini, yang disebabkan karena banyaknya rangsangan setempat. Selaput lendir ini mungkin menjadi lebih tebal pada perokok berat bila dibandingkan dengan orang bukan perokok. Ini menambah hambatan pada saluran udara ke dalam paru-paru dan menjadikan jauh lebih sukar baginya untuk bernafas. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen yang mampu memicu kanker. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen dan tubuh pun menjadi kekurangan oksigen. Padahal oksigen merupakan bahan utama bagi kehidupan manusia. Nitrogen oksida berpengaruh pada bulu-bulu halus yang meliputi bronchial dan merangsang bulu-bulu tersebut, sehingga bertambah pula keluarnya cairan ekskresi di selaput lendir pada saluran pernafasan, dan membesarlah kelenjar getah bening yang ada pada bronchial. Dengan demikian, berubahlah kualitas dahak yang keluar. Gas amoniak, gas ini yang menyengat lidah, mengakibatkan terbentuknya lapisan berwarna kuning pada permukaan lidah, dan menganggu kelenjar pengecap dan perasa yang ada pada permukaan lidah. Gas amoniak juga dapat memperbanyak keluarnya alir liur, merangsang batuk, membuka peluang pilek secara berulang-ulang serta radang pada mulut, kerongkongan, dan farinks (Nashr, 2008).
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 195
Terjemahnya:
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Depag, 2002)

Ketahuilah, bahwa rokok setidak-tidaknya adalah perkara syubhat (samar-samar/tidak jelas hukumnya), yang Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa barangsiapa jatuh pada perkara yang syubhat, maka dia telah jatuh pada perkara yang haram. Dan Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menjauhi perkara-perkara yang syubhat dalam sabdanya:
Artinya:
 “Sesungguhnya sesuatu yang halal itu telah jelas, dan sesungguhnya yang haram itu telah jelas pula. Dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang mutasyabihat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui. Barang siapa yang menjaga dirinya dari syubhat itu, maka dia telah menjaga kebesihan untuk agamanya dan pribadinya; dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat, maka dia telah terjerumus dalam hal yang haram....” (HR Bukhari dan Muslim., dikutip dari Abdul Jabbar, 2008)


Generasi salaf, yakni para sahabat Rasulullah SAW., telah paham bahwa ayat tersebut melarang seorang muslim dari menceburkan dirinya ke dalam bahaya atau hal-hal yang dapat membinasakan (Nashr, 2008). Merokok dapat mengganggu kesehatan dan dengan merokok artinya mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri.
Menurut Nadyah (2009), setiap hisapan rokok akan merusak ribuan silia pada saluran napas, jumlah silia yang rusak berbanding lurus dengan jumlah paparan asap rokok pada tiap hisapan. Partikulat dalam asap rokok mengendap dalam lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar  mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia yang menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspetorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadinya hipersekesi. Bila iritasi dan oksidasi disaluran napas  terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringa parut. Selain itu terjadi pula metaplasia dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversible.
Asap rokok merangsang pelepasan radikal bebas yang dapat menimbulkan jejas seluler. Jejas ini merangsan pelepasan mediator-mediator sehingga terjadi hipersekresi mukus, perusakan epitel yang bersifat ireversibel dan menimbulkan edema saluran napas. Manifestasi klinik yang timbul berupa batuk, sesak napas, dan dalam keadaan berat dapat terjadi penurunan keasadaran akibat hipoksia. (Nadyah, 2009).
Guyton dan Hall (2008), mengatakan secara luas telah diketahui bahwa merokok dapat mengurangi “napas”. Pernyataan ini benar karena terdapat banyak alasan. Pertama, salah satu dampak nikotin adalah menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru-paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru-paru. Kedua, efek iritasi asap rokok itu sendiri menyababkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus, juga pembengkak lapisan epitel. Ketiga, nikotin melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang normalnya terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya, lebih banyak debris terakumulasi dialan napas dan menambah kesukaran bernapas.
Pada keadaan pernapasan normal, udara dapat dengan sangat mudah mengalir melalui jalan pernapasan, sehingga dengan gradien dari alveoli ke atmosfer kurang dari 1 sentimeter tekanan air saja sudah cukup untuk menyebabkan sejumlah aliran udara guna pernapasan yang tenang. Jumlah tahanan yang terbesar untuk aliran udara tidak terjadi pada jalan udara yang kecil pada bronkiolus terminalis, tetapi pada bronkiolus dan bronkus yang lebih besar didekat trakea. Penyebab tahanan yang besar ini adalah karena jumlah bronkus besar relatif sedikit dibandingkan dengan sekitar 65.000 bronkiolus terminalis paralel yang setiap bronkiolus hanya dilalui sedikit udara. Namun, dalam keadaan sakit, bronkiolus yang lebih kecil seringkali mempunyai peran yang lebih besar dalam menentukan resistensi aliran udara karena ukurannya yang kecil dan karena bronkiolus mudah tersumbat akibatnya:
a)      Kontraksi otot pada dindingnya
b)      Terjadinya edema pada dinding bronkiolus
c)      Pengumpulan mukus di dalam lumen bronkiolus.
Pengaturan langsung bronkiolus oleh serabut saraf simpatis sifatnya relatif lemah karena beberapa serabut ini menembus masuk kebagaian pusat dari paru. Namun, cabang bronkus sangat terpapar dengan norepinefrin dan epinefrin, yang dilepaskan ke dalam darah oleh perangsangan simpatis dari medula kelenjar adrenal. Kedua hormon ini terutama epinefrin, karena rangsangannya yang lebih besar pada reseptor beta-adrenergik, menyebabkan dilatasi cabang bronkus.
Bebeapa serabut saraf parasimpatis yang berasal dari nervus vagus menembus perenkim paru. Saraf ini menyekresikan asetilkolin dan bila diaktivasi, akan menyebabkan konstriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus. Bila proses penyakit seperti asma telah menyebabkan beberapa konstriksi pada bronkiolus, maka adanya perangsangan saraf parasimpatis berikutnya seringkali memperburuk keadaan. Bila hal ini terjadi, maka pemberian obat-obatan yang menghambat asetilkolin, seperti atropin, kadang-kadang dapat merelaksasikan jalan pernapasan sehingga cukup untuk mengatasi obstruksi.
Kadang-kadang, saraf parasimpatis diaktivasi oleh refleks yang berasal dari paru. Sebagian besar diawali dengan iritasi pada membran epitel dari jalan napas itu sendiri, yang dicetuskan oleh gas-gas beracun, debu, asap rokok, atau infeksi bronkial. Bahan iritan juga menyebabkan refleks konstriktor parasimpatis pada saluran napas (rokok, debu, sulfur dikosida). Beberapa substansi yang terbentuk dalam paru itu sendiri seringkali sangat aktif menyebabkan konstriksi bronkiolus. Dua diantaranya paling penting adalah histamin dan substansi anafilaksis yang bereaksi lambat (Guyton dan Hall, 2008).
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis (Brunner dan Suddarth, 2006).
Diantara berbagai macam mediator kimiawi adalah: histamin, zat anaflaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran leukotrien), faktor kemotatik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini, terutama substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, akan menghasilkan: edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus. Oleh karena itu tahanan saluran napas menjadi meningkat (Goyton dan Hall, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap dan kabut. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Iris Rengganis, 2008).
Berdasarkan penjelasan diatas tentang hubungan merokok dengan kejadian asma bronkial, jelaslah bahwa merokok sangat berperan dalam faktor pencetus terjadinya asma bronkial, karena kandungan rokok terutama nikotin, tar dan karbon monoksida dapat berefek pada saluran pernapasan. 
Semoga Bermanfaat>>>....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LP Halusinasi


LAPORAN PENDAHULUAN
(JIWA)
1.        Kasus (Masalah Utama): Halusinasi
Defenisi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Sedangkan persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
      Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001). 
2.        Proses Terjadinya Masalah
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
Faktor predisposisi
1)      Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a)      Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b)      Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c)      Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2)    Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3)      Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1.   Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2.  Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3.  Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
4.      Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
a.    Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b.      Dimensi Emosional
Perasaan yang cemas berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sangggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c.    Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d.   Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan . klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupkan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi social, control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e.    Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.
3.        Jenis Halusinasi
a.       Halusinasi Pendengaran: Klien mendengar bunyi dan suara yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya.
b.      Halusinasi Penglihatan: Kien melihat gambaran yang jelas atau samar-samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya.
c.       Halusinasi Penciuman: Membau  busuk,  amis dan bau  yang menjijikkan seperti darah, urin, atau feces. Kadang-kadang terhidu bau harum.
d.      Halusinasi Pengecapan: Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan seperti rasa darah, urin atau feces.
e.       Halusinasi Perabaan: Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat.
f.        Senestetik: Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena dan arteri, makanan dicerna atau pembentukan urin.
4.        Tanda dan Gejala
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
o  Bicara sendiri.
o  Senyum sendiri.
o  Ketawa sendiri.
o  Menggerakkan bibir tanpa suara.
o  Pergerakan mata yang cepat
o  Respon verbal yang lambat
o  Menarik diri dari orang lain.
o  Berusaha untuk menghindari orang lain.
o  Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
o  Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
o  Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
o  Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
o  Sulit berhubungan dengan orang lain.
o  Ekspresi muka tegang.
o  Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
o  Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
o  Tampak tremor dan berkeringat.
o  Perilaku panik.
o  Agitasi dan kataton.
o  Curiga dan bermusuhan.
o  Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
o  Ketakutan.
o  Tidak dapat mengurus diri.
o  Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
5.        a. Pohon Masalah



  b. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
    1. Masalah keperawatan
      • Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
      • Perubahan sensori perseptual : halusinasi
      • Isolasi sosial : menarik diri
    2. Data yang perlu dikaji
      • Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
6.        Diagnosa Keperawatan
1.      Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2.      Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
7.      Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1: Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1.      Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2.      Tujuan khusus :
1)      Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
1.      Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan yang tenang – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik).
2.      Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
3.      Empati.
4.      Ajak membicarakan hal-hal yang ada di lingkungan.
2)      Klien dapat mengenal halusinasinya.
Tindakan :
1.      Kontak sering dan singkat.
2.      Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal).
3.      Bantu mengenal halusinasinya dengan menanyakan apakah ada suara yang didengar dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak. Katakan perawat akan membantu.
4.      Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
5.      Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi.
3)      Klien dapat mengontrol halusinasinya.
Tindakan :
1.      Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi.
2.      Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien dan cara baru untuk mengontrol halusinasinya.
3.      Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “saya tidak mau dengar.”
4.      Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih/dilakukan.
5.      Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika berhasil.
6.      Libatkan klien dalam TAK : stimulasi persepsi.
4)      Klien dapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
1.      Beri pendidikan kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala, cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan.
2.      Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
5)      Klien dapat menggunakan obat dengan benar.
Tindakan :
1.      Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
2.      Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu).
3.      Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
4.      Beri reinforcement positif klien minum obat yang benar.
Diagnosa 2: Perubahan sensori perseptual : halusinasi
1.      Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
2.      Tujuan Khusus:
1)      Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran      hubungan interaksi selanjutnya
Tindakan :
2)      Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapetutik
1.      sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2.      Perkenalkan diri dengan sopan
3.      Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
4.      Jelaskan tujuan pertemuan
5.      Jujur dan menepati janji
6.      Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7.      Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
3)      Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Rasional :
·       Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol     diri atau integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
·       Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien
·       Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian
Tindakan:
1.    Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2.     Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif
3.    Utamakan memberikan pujian yang realistik
4)      Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
Rasional :
·       Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah.
·       Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan penggunaannya
Tindakan:
1.      Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit
2.      Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
5)       Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Rasional :
·       Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
·       Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.
·       Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan
Tindakan:
1.      Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
·  Kegiatan mandiri
·  Kegiatan dengan bantuan sebagian
·  Kegiatan yang membutuhkan bantuan total
2.      Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
3.      Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
6)      Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya
Rasional :
§  Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien
§  Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien
§  Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan
Tindakan:
1.      Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
§  Beri pujian atas keberhasilan klien
§  Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
7)      Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Rasional:
·       Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah
·       Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien.
·       Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
Tindakan:
·      Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah
·      Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
·      Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS