Hubungan
Merokok dengan Asma Bronkial
Sebelumnya saya pernah memposting Penyakit Asma Bronkial
dan Bahaya Merokok di blog ini teryata
ada kaitannya antara merokok dan asma.
dan Bahaya Merokok di blog ini teryata
ada kaitannya antara merokok dan asma.
Tulisan sengaja saya posting.. berbagi pengetahuan kepada para pembaca
terutama pasien yang asma bahwa merokok selain bertentangan
dengan ajaran agama juga sangat merugikan
terutama pasien yang asma bahwa merokok selain bertentangan
dengan ajaran agama juga sangat merugikan
bagi kesehatan baik itu diri sendiri,
lingkungan terlebih orang-orang disekeliling
lingkungan terlebih orang-orang disekeliling
kita. tulisan ini adalah hasil skripsi penulis.
saya mohon doa kepada para pembaca semoga
saya mohon doa kepada para pembaca semoga
saya diberi kemudahan dalam seminar hasil ataupun
ujian meja nantinya.. aminn ya Rob
ujian meja nantinya.. aminn ya Rob
Racun utama pada rokok
adalah tar, nikotin, karbon monoksida,
nitrogen oksida, dan gas amoniak. Bangun (2008) menjelaskan
bahwa tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan
menempel pada paru-paru. Tar mengandung
bahan-bahan karsinogen, zat-zat tar ini dipindahkan ke dalam cabang-cabang
tenggorok dan paru-paru dengan perantaraan asap, dan sesudah itu tersimpan pada
selaput lendir pembuluh-pembuluh ini, yang disebabkan karena banyaknya
rangsangan setempat. Selaput lendir ini mungkin menjadi lebih tebal pada
perokok berat bila dibandingkan dengan orang bukan perokok. Ini menambah
hambatan pada saluran udara ke dalam paru-paru dan menjadikan jauh lebih sukar
baginya untuk bernafas. Nikotin
adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini
bersifat karsinogen yang mampu memicu
kanker. Karbon monoksida adalah zat
yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat
oksigen dan tubuh pun menjadi kekurangan oksigen. Padahal oksigen merupakan
bahan utama bagi kehidupan manusia. Nitrogen
oksida berpengaruh pada bulu-bulu halus yang meliputi bronchial dan
merangsang bulu-bulu tersebut, sehingga bertambah pula keluarnya cairan
ekskresi di selaput lendir pada saluran pernafasan, dan membesarlah kelenjar
getah bening yang ada pada bronchial. Dengan demikian, berubahlah kualitas
dahak yang keluar. Gas amoniak, gas
ini yang menyengat lidah, mengakibatkan terbentuknya lapisan berwarna kuning
pada permukaan lidah, dan menganggu kelenjar pengecap dan perasa yang ada pada
permukaan lidah. Gas amoniak juga
dapat memperbanyak keluarnya alir liur, merangsang batuk, membuka peluang pilek
secara berulang-ulang serta radang pada mulut, kerongkongan, dan farinks
(Nashr, 2008).
Allah SWT berfirman
dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 195
Terjemahnya:
Dan
infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri)
ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah, Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Depag, 2002)
Ketahuilah, bahwa rokok setidak-tidaknya adalah
perkara syubhat (samar-samar/tidak
jelas hukumnya), yang Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa barangsiapa jatuh
pada perkara yang syubhat, maka dia
telah jatuh pada perkara yang haram. Dan Rasulullah SAW memerintahkan kita
untuk menjauhi perkara-perkara yang syubhat
dalam sabdanya:
Artinya:
“Sesungguhnya sesuatu yang halal itu telah
jelas, dan sesungguhnya yang haram itu telah jelas pula. Dan diantara keduanya
ada perkara-perkara yang mutasyabihat (samar-samar) yang kebanyakan manusia
tidak mengetahui. Barang siapa yang menjaga dirinya dari syubhat itu, maka dia
telah menjaga kebesihan untuk agamanya dan pribadinya; dan barang siapa yang
terjerumus dalam syubhat, maka dia telah terjerumus dalam hal yang haram....”
(HR Bukhari dan Muslim., dikutip dari Abdul Jabbar, 2008)
Generasi salaf, yakni
para sahabat Rasulullah SAW., telah paham bahwa ayat tersebut melarang seorang
muslim dari menceburkan dirinya ke dalam bahaya atau hal-hal yang dapat
membinasakan (Nashr, 2008). Merokok dapat mengganggu kesehatan dan dengan
merokok artinya mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan rasa
cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu
terjadi terhadap dirinya sendiri.
Menurut Nadyah (2009),
setiap hisapan rokok akan merusak ribuan silia pada saluran napas, jumlah silia yang rusak berbanding lurus dengan
jumlah paparan asap rokok pada tiap hisapan. Partikulat dalam asap rokok
mengendap dalam lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat
aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga
iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang
kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah
dengan gangguan aktivitas silia yang
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspetorasi.
Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat
proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat
terjadinya hipersekesi. Bila iritasi dan oksidasi disaluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel
serta pembentukan jaringa parut. Selain itu terjadi pula metaplasia dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis
dan obstruksi saluran napas yang
bersifat irreversible.
Asap rokok merangsang
pelepasan radikal bebas yang dapat menimbulkan jejas seluler. Jejas ini
merangsan pelepasan mediator-mediator sehingga terjadi hipersekresi mukus,
perusakan epitel yang bersifat ireversibel dan menimbulkan edema saluran napas.
Manifestasi klinik yang timbul berupa batuk, sesak napas, dan dalam keadaan
berat dapat terjadi penurunan keasadaran akibat hipoksia. (Nadyah, 2009).
Guyton dan Hall (2008),
mengatakan secara luas telah diketahui bahwa merokok dapat mengurangi “napas”.
Pernyataan ini benar karena terdapat banyak alasan. Pertama, salah satu dampak nikotin adalah menyebabkan konstriksi
bronkiolus terminal paru-paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke
dalam dan keluar paru-paru. Kedua, efek iritasi asap rokok itu sendiri
menyababkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus, juga
pembengkak lapisan epitel. Ketiga, nikotin
melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang normalnya terus
bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran
pernapasan. Akibatnya, lebih banyak debris terakumulasi dialan napas dan
menambah kesukaran bernapas.
Pada keadaan pernapasan
normal, udara dapat dengan sangat
mudah mengalir melalui jalan pernapasan, sehingga dengan gradien dari alveoli
ke atmosfer kurang dari 1 sentimeter tekanan air saja sudah cukup untuk
menyebabkan sejumlah aliran udara guna pernapasan yang tenang. Jumlah tahanan
yang terbesar untuk aliran udara tidak terjadi pada jalan udara yang kecil pada
bronkiolus terminalis, tetapi pada bronkiolus dan bronkus yang lebih besar
didekat trakea. Penyebab tahanan yang besar ini adalah karena jumlah bronkus
besar relatif sedikit dibandingkan dengan sekitar 65.000 bronkiolus terminalis
paralel yang setiap bronkiolus hanya dilalui sedikit udara. Namun, dalam
keadaan sakit, bronkiolus yang lebih kecil seringkali mempunyai peran yang
lebih besar dalam menentukan resistensi aliran udara karena ukurannya yang
kecil dan karena bronkiolus mudah tersumbat akibatnya:
a) Kontraksi
otot pada dindingnya
b) Terjadinya
edema pada dinding bronkiolus
c) Pengumpulan
mukus di dalam lumen bronkiolus.
Pengaturan langsung
bronkiolus oleh serabut saraf simpatis sifatnya relatif lemah karena beberapa
serabut ini menembus masuk kebagaian pusat dari paru. Namun, cabang bronkus
sangat terpapar dengan norepinefrin dan
epinefrin, yang dilepaskan ke dalam
darah oleh perangsangan simpatis dari medula kelenjar adrenal. Kedua hormon ini
terutama epinefrin, karena
rangsangannya yang lebih besar pada reseptor
beta-adrenergik, menyebabkan dilatasi cabang bronkus.
Bebeapa serabut saraf
parasimpatis yang berasal dari nervus vagus menembus perenkim paru. Saraf ini
menyekresikan asetilkolin dan bila
diaktivasi, akan menyebabkan konstriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus.
Bila proses penyakit seperti asma telah menyebabkan beberapa konstriksi pada
bronkiolus, maka adanya perangsangan saraf parasimpatis berikutnya seringkali
memperburuk keadaan. Bila hal ini terjadi, maka pemberian obat-obatan yang
menghambat asetilkolin, seperti atropin, kadang-kadang dapat
merelaksasikan jalan pernapasan sehingga cukup untuk mengatasi obstruksi.
Kadang-kadang, saraf
parasimpatis diaktivasi oleh refleks yang berasal dari paru. Sebagian besar
diawali dengan iritasi pada membran epitel dari jalan napas itu sendiri, yang
dicetuskan oleh gas-gas beracun, debu, asap rokok, atau infeksi bronkial. Bahan
iritan juga menyebabkan refleks konstriktor parasimpatis pada saluran napas
(rokok, debu, sulfur dikosida). Beberapa substansi yang terbentuk dalam paru
itu sendiri seringkali sangat aktif menyebabkan konstriksi bronkiolus. Dua
diantaranya paling penting adalah histamin
dan substansi anafilaksis yang
bereaksi lambat (Guyton dan Hall, 2008).
Sistem saraf otonom
mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui
sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf
pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin,
merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan
asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis (Brunner
dan Suddarth, 2006).
Diantara berbagai macam
mediator kimiawi adalah: histamin, zat anaflaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran leukotrien), faktor kemotatik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini, terutama substansi
anafilaksis yang bereaksi lambat,
akan menghasilkan: edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi
mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus.
Oleh karena itu tahanan saluran napas menjadi meningkat (Goyton dan Hall, 2008).
Pada jalur saraf
otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh
sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang
terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa
keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap dan kabut. Pada keadaan tersebut
reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid
sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin
Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi
plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Iris Rengganis,
2008).
Berdasarkan penjelasan
diatas tentang hubungan merokok dengan kejadian asma bronkial, jelaslah bahwa
merokok sangat berperan dalam faktor pencetus terjadinya asma bronkial, karena
kandungan rokok terutama nikotin, tar dan
karbon monoksida dapat berefek pada saluran pernapasan.
Semoga Bermanfaat>>>....
0 komentar:
Posting Komentar